Setiap orang punya
cita-cita. Waktu aku kecil pernah ditanya “apa cita-cita mu?”. Sebagai seorang
anak kecil yang belum ngerti tentang apapun tentang kehidupan dunia, aku hanya
bisa menjawab “dokter”. Hahaha, kalau inget itu mesti ketawa sendiri. Sejak kecil
para orang tua selalu mengajarkan kita untuk jadi dokter, atau polisi, guru,
tentara, presiden dan lain sebagainya. Mereka ingin anak-anak mereka tumbuh besar
dan mendapatkan pekerjaan seperti apa yang mereka ajarkan pada anak-anak mereka
waktu kecil.
Aku bercita-cita
jadi dokter, minimal bidan lah. Tapi setelah aku besar, aku sadar dan mendapati
bahwa aku ngga mungkin jadi dokter, tapi trauma di masa kecil yang menjerat ku
sampai dewasa memaksa ku untuk mengakhiri cita-cita ku saat itu juga.
Ketika libur
lebaran tiba pergi kerumah eyang itu menjadi sebuah agenda penting. Disaat itulah
semua orang-orang tua menginginkan ku menjadi bidan, lalu mengabdi didesa
mereka.
“nduk cah ayu,
ndang lulus ya, gek dadi bidan, terus ngabdi ning kene”
Bukan satu orang,
tapi banyak bahkan semua orang yang mendoakan ku seperti itu. itu terjadi
ketika aku masih smp dan sma. Namun setelah bangku kuliah ku pijaki, doa-doa
mereka tidak dikabulkan.
Maaf, bukannya aku
ngga mau jadi apa yang kalian pengen. Trauma jarum suntik dan darah membuat ku
harus memaksa diri ku sendiri untuk membuat doa-doa kalian tidak dikabulkan.
P M R, adalah
kegiatan ku untuk menghilangkan trauma itu, namun tetep tidak bisa. Aku masih
saja terjebak dengan trauma ku.
Cita-citaku di
masa sekarang bukan menjadi dokter lagi. Aku hanya ada tiga cita-cita saat ini
©
Pengen
bahagiakan kedua orang tua dan keempat sodara ku
©
Pengen
jadi ibu yang baik untuk imam dan anak ku kelak
©
Pengen
bisa jadi orang yang berguna di masyarakat (jadi penulis)
Aku ngga pengen
lagi jadi dokter. Aku sudah gdhe, aku punya cita-cita yang lebih baik dari
sekedar menjadi dokter.